Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘telco’

Tahun 2008 ini sungguh luar biasa. di sektor telekomunikasi.

Seluruh operator telco Indonesia memakai jurus yang sama. Ya. perang Tarif. Dunia lautan merah yang luar biasa. Sama caranya. Sama metodenya. Sama gilanya. Siapa telco yang akan bangkrut duluan ? Ataukah memang selama ini mereka terlalu menikmati margin yang tinggi ?

TELKOM, beserta TELKOMSEL anak perusahaannya, sudah mengeluarkan laporan keuangan Semester 1 yang menunjukkan penuruan laba, walaupun revenue masih meningkat. Serangan bertubi-tubi dari kompetitor memang terasa bagi operator incumbent ini.

XL masih bisa bernapas lega karena pertumbuhan pelanggannya dapat mengungkit pendapatannya dan mendongkrak laba semester 1.

Kabarnya pemegang saham Mobile-8 ( FREN ) udah nggak tahan untuk melepas bisnis telekomunikasinya dan akan fokus ke bisnis televisi berbayar. Siapa yang mau beli ?

Kita tunggu hingga seluruh operator mengungkapkan laporan keuangannya semester 1 ini.

Read Full Post »

Saat ini hampir seluruh operator telekomunikasi di Indonesia dikuasai oleh asing. Sejauhmana peran asing ini dalam pembangunan sektor telekomunikasi di Indonesia ? Akankah mereka hanya akan mengeruk keuntungan di kota-kota besar saja, dan meninggalkan peran agen pembangunan di pedesaan yang saat ini masih banyak yang belum terjangkau di Indonesia. Sebuah resensi buku tentang kapitalisme berikut ini menarik untuk kita baca.

————————————————-

Jakarta (ANTARA News) – “Siapa pun yang ingin mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di dunia, mesti segera membaca buku ini.”

Itulah komentar majalah Rolling Stone tentang buku “The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism” karangan wartawati Kanada, Naomi Klein, yang diterbitkan Penguin Books, London, Inggris (2007).

Buku setebal 558 halaman yang struktur kisahnya rapi dan dinilai koran “The Observer” sebagai buah dari riset mahasempurna ini menyingkap muslihat kaum kapitalis yang secara menyeramkan menggasak aset negara, tak peduli jutaan orang mati dan jatuh melarat karenanya.

Para kapitalis ini mengarsiteki sekaligus mensponsori kudeta-kudeta berdarah di seluruh dunia, swastanisasi aset dan sistem pelayanan publik, krisis moneter, merger dan akuisisi perusahaan pasca krisis, liberalisasi perdagangan, invasi Irak, bahkan gerakan demokratisasi.

Selain mewujud dalam perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs), mereka mengotaki Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bahkan organisasi-organisasi bantuan internasional seperti Badan Bantuan Pembangunan Internasional AS (USAID).

Mereka melekat pada lembaga-lembaga “think tank” terkenal seperti American Enterprise Institute, Heritage Foundation dan Cato Institute, sementara ruhnya bersemayam dalam sejumlah universitas Barat yang menjadi tempat berkuliah para teknokrat negara berkembang yang belajar karena biaya asing.

Kaum kapitalis ini tak peduli sebuah rezim zalim atau tidak, demokratis atau tidak, korup atau tidak, yang penting menguntungkan mereka, persis pepatah mantan pemimpin RRC Deng Xiaoping, “Tak penting kucing itu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus.”

Kaum yang disebut Naomi neoliberal ini sangat anti kepemilikan publik dan berupaya membuat pemerintahan di banyak negara lumpuh sehingga merekalah yang sesungguhnya berkuasa atas negara dan sistem transaksi sosial, ekonomi dan politik antar-bangsa.

“Saya ingin pemerintah dikerdilkan sampai saya bisa menyeretnya ke kamar mandi untuk kemudian membenamkannya dalam bak mandi,” kata Grover Norquist, pelobi kepentingan bisnis MNCs terkenal di AS sekaligus pembela fanatik neoliberal.

Untuk mengerdilkan pemerintah, mereka mempunyai modus, yaitu mengacaubalaukan negara dengan menciptakan situasi krisis sampai kesadaran nasional negara itu hilang, terutama berkaitan dengan konsep dasar pengelolaan ekonominya.

Negara itu lalu dipaksa menelan resep ekonomi propasar dalam dosis tinggi nan beruntun, tak peduli rakyatnya bakal sengsara. Hal terpenting, negara itu menjadi amat tergantung pada modal asing(kapitalis) sehingga setiap saat bisa dieksploitasi oleh kaum kapitalis itu.

Metode membuat syok nasional sehingga negara tak sadar telah dikuasai kapitalis ini disebut Naomi Klein sebagai “Shock Doctrine.”

Naomi menganalogikan terapi syok ekonomi ini dengan doktrin militer AS “kejutkan dan takutkan” (shock and awe) dan metode cuci otak ala dinas intelijen AS (CIA), “kubark counter intelligence interrogation.”

Lewat “kubark”, CIA membunuh karakter manusia dengan teknik interogasi mengerikan sehingga memori manusia hilang untuk kemudian diganti karakter baru jadi-jadian, seperti dalam kisah trilogi “Bourne” yang dibintangi aktor Hollywood, Matt Damon.

Dalam format berbeda, para ekonom neoliberal mengaplikasikan metode dekarakterisasi ala CIA ini ke tingkat negara dengan membuat negara berada dalam suasana krisis, sehingga gampang dipaksa untuk menelan resep kebijakan ekonomi prokapitalis yang formula dasarnya adalah liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan swastanisasi aset publik.

Penggagas terapi syok itu adalah ekonom Universitas Chicago, Milton Friedman, seorang penentang intervensi negara dalam pengelolaan ekonomi yang dulu disarankan ekonom besar pasca-Perang Dunia I, John Maynard Keynes.

Friedman percaya bahwa perekonomian harus diserahkan sepenuhnya pada pasar dan ia ingin dunia mempraktikannya tanpa kecuali.

Terinspirasi sukses Mafia Berkeley di Indonesia akhir 1960-an dan junta militer Brazil pimpinan Castello Branco yang mengakhiri ekonomi kerakyatannya Presiden Joao Gullart pada 1964, Friedman membidik Chile sebagai kelinci percobaan pertamanya.

Chile awal 1970-an diperintah Salvador Allende yang mengusung sistem ekonomi sosialis yang tak mengharamkan kepemilikan swasta, namun mengharuskan negara melindungi kepentingan publik. Ekonomi sosialis Chile berbeda dari komunisme, seperti diklaim AS, bahkan mirip azas demokrasi ekonominya Mohammad Hatta di Indonesia.

Karena ingin menasionalisasi perusahaan asing, maka sosialisme Allende itu lalu dipandang korporasi-korporasi multinasional asal AS sebagai ancaman. Salah satu yang terancam, American Telephone & Telegraph (AT&T), mendesak pemerintah AS untuk mencungkil Allende dari kekuasaannya.

Sebelum mendongkel Allende, AS mendidik mahasiswa-mahasiswa Chile di Universitas Chicago di bawah asuhan Milton Friedman dengan tujuan mengimbangi popularitas para ekonom sosialis pimpinan Pedro Vuskovic Bravo yang menjadi arsitek kebijakan ekonomi Allende.

Untuk mengaburkan intervensi, pemerintah AS bersembunyi dibalik Ford Foundation, yang juga mensponsori para mahasiswa Indonesia berkuliah di Universitas California, Berkeley, pada 1956 hingga menjadi teknokrat Orde Baru.

Para mahasiswa Chile yang dibiasakan mempelajari ekonomi neoliberal ini disiapkan sebagai teknokrat pasca Allende.

Pada 1973, Allende akhirnya digulingkan oleh Jenderal Augusto Pinochet dukungan CIA.

Selagi Pinochet menebarkan teror hingga rakyat Chile syok dalam ketakutan, para ekonom Friedmanis menyuntikkan resep propasar (prokapitalis) dalam dosis tinggi hingga Chile terperangkap utang dan kekuasaan asing.

Paparan Chile ini adalah awal cerita horor pasar bebas yang menjadi isi utama buku yang disebut Dow Jones sebagai salah satu literatur ekonomi terbaik abad 21 ini.

Horor berlangsung hingga era pemerintahan George Bush yang disebut sebagai puncak kebrutalan pasar bebas hingga dunia pun muak sampai-sampai Amerika Latin alergi dengan apa pun yang berbau Friedmanis seperti IMF.

“Tuan-tuan, kami ini berdaulat. Kami ingin melunasi utang kami, tapi maaf-maaf saja jika kami harus membuat kesepakatan lagi dengan IMF,” kata Presiden Argentina, Nestor Kirchner.

Sambil membopong diktator dan rezim sokongannya, kaum kapitalis mensponsori para ekonom didikan kampus-kampus neoliberal untuk menyiapkan karpet merah bagi kapitalisme dengan menyusun kebijakan ekonomi reformis propasar, satu eufemisme dari kebijakan prokapitalis.

Afrika Selatan pasca-Nelson Mandela, Rusia di bawah Boris Yeltsin, dan Polandia pasca-komunis adalah beberapa contoh.

Negara-negara yang semula khidmat mendengarkan rekomendasi para ekonom reformis bimbingan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) itu kemudian sadar telah dibohongi para ekonom dan birokrat bimbingan Barat yang ternyata para calo swastanisasi negara.

Para penyusun kebijakan reformasi ekonomi tersebut memang kerap berperan menjadi mulut korporasi asing, bahkan konsep kebijakan swastanisasi Bolivia semasa Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada disusun para analis keuangan perusahaan asing, seperti Solomon Brothers dan ExxonMobil.

Nelson Mandela adalah salah satu yang kecewa karena cita-cita memakmurkan warga kulit hitam, seperti dipesankan Piagam Perdamaian tak tercapai, justru karena orang dekatnya, Tabo Mbeki, menyusun kebijakan pro-kapitalis sehingga mayoritas rakyat Afsel terpinggirkan.

Polandia juga menyesal mematuhi nasihat pialang George Soros dan ekonom Jeffrey Sachs, seorang Friedmanis dari Universitas Harvard, sehingga aset-aset strategis Polandia jatuh ke tangan asing, justru ketika Partai Solidaritas memerintah negeri itu.

Demikian pula Rusia, yang kehilangan aset-aset strategisnya setelah ekonom reformis Yegor Gaidar, seorang Friedmanis di bawah bimbingan IMF, mempromosikan kebijakan propasar. Vladimir Putin kemudian mengoreksi kesalahan itu, dan mengakhiri hubungan mesra Rusia dengan IMF.

Buku tersebut juga menyebut krisis moneter Asia 1997 sebagai hasil desain kaum kapitalis karena mereka ingin menguasai aset-aset strategis di kawasan itu, mencaplok aset-aset perusahaan nasional Asia yang tumbuh meraksasa, dan hendak menggulingkan rezim-rezim yang berubah kritis, seperti Soeharto di Indonesia.

Menurut Naomi, di masa tuanya, Soeharto yang pro-Barat itu bosan diperah korporasi asing, sehingga ia “berkhianat” dengan membagikan aset nasional kepada kroninya yang berakibat korporasi asing itu berang, lalu merancang pembalasan dengan membesarkan skala krisis moneter Asia.

Ketika Indonesia dan Asia akhirnya lunglai karena krisis moneter, IMF datang menawarkan obat dengan syarat liberalisasi pasar, sebuah formula klasik ala Friedman. Semua Asia menerima resep itu, hanya Malaysia yang menampik formula rente itu.

Hanya dalam 20 bulan, perusahaan-perusahaan multinasional asing berhasil menguasai perekonomian Indonesia, Thailand, Korea Selatan, Filipina dan juga Malaysia lewat 186 merger dan akuisisi perusahaan-perusahaan besar di negara-negara ini.

“Ini adalah pengalihan aset dari domestik ke asing terbesar dalam limapuluh tahun terakhir,” kata ekonom Robert Wade.

Tak puas di situ, para kapitalis merancang serangan ke Irak setelah Presiden Saddam Hussein memberi keleluasaan pada Rusia menambang minyak di Irak.

Perusahaan-perusahaan minyak seperti Shell, Halliburton, BP dan ExxonMobil lalu mengipasi pemerintah AS dan Inggris untuk mencaplok Irak.

Namun, saat Irak sulit digenggam karena masalah terlalu kompleks, negeri itu disulap menjadi lahan bisnis keamanan sehingga para pedagang senjata, konsultan keamanan perusahaan di wilayah krisis, tentara bayaran dan para spesialis teknologi keamanan mendadak bergelimang uang.

Kemudian, saat kaum kapitalis itu membutuhkan relaksasi setelah penat berburu laba, maka sejumlah lokasi dibidik menjadi situs wisata eksotis, diantaranya Srilangka.

Namun, para nelayan miskin yang mendiami pantai-pantai indah Srilangka tak mau hengkang sampai tsunami menghantam Asia bagian Selatan pada 2004.

Bertopengkan bantuan rekonstruksi pascabencana dan bergerak dalam kerudung USAID, para kapitalis menyandera pemerintah Srilangka, agar “menukarkan” pantai indah Srilangka dengan bantuan tsunami. Situasi serupa berlaku di Thailand dan New Orleans pasca-badai Katrina.

Intinya, kaum kapitalis telah membisniskan perang, teror, anarki, situasi krisis dan bencana alam. Naomi Klein menyebutnya, “kapitalisme bencana”. (*)

Read Full Post »

detik.com

 

Bermula dari seorang peneliti yang berhasil memperkenalkan teknologi informasi modern di kawasan Timur Tengah. Kini, ia sukses membawa Qatar Telecom sebagai perusahaan yang patut diperhitungkan di bisnis telekomunikasi dunia.

Senyum di bibir Nasser Marafih terus saja menyungging. Chief Executive Officer Qatar Telecom (Qtel) ini tak sedang mengkhayal. Sesungguhnya ia patut bersukacita. Bagaimana tidak. Berkat kepiawaiannya mengatur strategi, ia berhasil mengembangkan perusahaan yang dipimpinnya itu tak hanya jagoan di negerinya sendiri. Juga, mampu eksis di sejumlah negara.

Faktanya memang sulit dibantah. Hingga akhir 2007, perusahaan ini telah berkibar di 16 negara. Yang terbaru adalah gebrakannya di awal bulan ini, Qtel dipastikan menguasai 40,8 persen saham PT Indosat. Peluangnya masuk ke negeri ini, berawal dari rencana Singapore Technologies Telemedia (STT) melepas sebagian kepemilikannya di Indosat. Untuk diketahui, sebelumnya STT menguasai 42 persen saham Indosat.
Kesempatan itu, tak serta-merta disia-siakan Nasser.

Untuk itu, nyatanya, ia tak ragu merogoh kas perusahaan hingga USD1,8 miliar, atau setara dengan Rp16,74 triliun. Langkah ini, kata Nasser, amatlah strategis. Bergabung dengan Indosat juga berarti peluang bagi Qtel semakin terbuka lebar untuk menikmati pasar nan wah di negeri ini. Karena itu, Nasser patut menyunggingkan senyum kemenangan.
Selama di bawah kendalinya, Qtel memang terkesan makin ekspansif saja.

Ternyata, hal itu tak bisa dilepaskan dari ambisinya yang menargetkan perusahaan ini pada 2020 menjadi salah satu industri telekomunikasi terbaik di dunia. Modal untuk itu bukannya tak ada. Lihat saja berbagai prestasi yang telah ditorehkan perusahaan yang berkantor pusat di Doha, Qatar, itu. Di antaranya pada 2005 berhasil meraih penghargaan sebagai perusahaan telekomunikasi terbaik di Kawasan Teluk.

Setahun setelah itu, Qtel, yang telah beroperasi sejak 21 tahun silam, juga meraih Economic Award, yakni penghargaan tertinggi di dunia yang diperuntukkan bagi perusahaan yang berhasil menerapkan prinsip good corporate governance secara benar. Selain itu, sampai saat ini, Qtel tercatat sebagai perusahaan publik terbesar di Qatar. Sahamnya, bahkan diperdagangkan di empat bursa berbeda, yakni di Doha (Doha Securities Market), Abu Dhabi (Abu Dhabi Securities Market), Bahrain Stock Exchange, dan London Stock Exchange.

Sesuai dengan rencana pengembangan perusahaan yang dilansir pada awal tahun ini, Nasser beserta para petinggi Qtel memang telah menetapkan kebijakan strategi ekspansi. Di antaranya dengan membeli perusahaan sejenis yang dinilai memiliki prospek yang potensial. Membeli sebagian saham Indosat salah satunya.

Tergolong Eksekutif Bertangan Dingin

Untuk soal yang terakhir itu, seperti yang dilakukannya di Oman. Di negara ini, bersama Tele-Denmark Communications (perusahaan telekomunikasi asal Denmark) dan BUMN telekomunikasi setempat, pada 2004 Qtel mendirikan Narwas, operator telepon seluler yang lebih fokus menggarap pasar domestik. Hasilnya cukup gemilang. Baru setahun beroperasi, Narwas berhasil menjaring 897 ribu pelanggan, atau setara dengan 40 persen populasi penduduk Oman.

Tak berhenti sampai di situ, dua tahun lalu Qtel bekerja sama dengan AT&T, gergasi asal Amerika, membeli saham NavLink sebesar 38,2 persen. Langkah bisnis nan cerdik. Maklum, perusahaan penyedia jasa komunikasi data asal Prancis itu untuk ukuran Timur Tengah tergolong jawaranya. Di kawasan ini ia sebagai market leader. Tak lama setelah itu, Qtel berhasil menggandeng Korea Telecom membangun proyek infrastruktur IT di Qatar. Dari kerja sama ini menghasilkan Ubiquitous Cities (U-City), yakni kawasan IT terpadu.

Gebrakannya yang tak kalah mengesankan di Kuwait. Pada tahun lalu, bersama Kuwait National Mobile Telecommunications Company, Nasser berhasil mendirikan Wataniya. Nilai investasinya terbilang mega, sebesar USD3,8 miliar. Dengan dana sebanyak itu, Qtel menguasai 51 persen saham Wataniya. Sisanya, 49 persen adalah jatah buat mitranya. Targetnya, perusahaan kongsi ini akan dijadikan ujung tombak bagi pengembangan bisnis Qtel di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Nasser bisa jadi juga tergolong eksekutif bertangan dingin. Nyaris tiada program yang dijalankannya ?patah? di tengah jalan.

Nyatanya, di tangan pria yang kini berusia 47 tahun itu, keberadaan Qtel makin kokoh saja. Cengkeramannya makin menggurita. Seiring dengan itu, kinerja keuangannya pun makin bersinar. Pendapatan perusahaan pada 2004 baru mencapai QAR (Qatar Rial) 2,864 miliar, setara dengan USD782 juta, dengan keuntungan QAR 1,4 juta. Kemudian melonjak begitu hebat memasuki tahun lalu, pendapatannya menjadi QAR 10,373 miliar, dengan laba mencapai QAR 1,877 miliar.

Kondisi nan menyenangkan itu terus berlanjut hingga tahun ini. Sepanjang kuartal I, Qtel mampu meraih pendapatan QAR 3,5 miliar, dengan keuntungan hampir QAR 567 juta. Pencapaian sebesar itu meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Dengan prestasi yang begitu hebat, tak salah, jika Qtel kini digolongkan sebagai industri yang patut diperhitungkan di tataran bisnis telekomunikasi internasional.

Nasser adalah penyandang gelar doktor bidang telekomunikasi dari Universitas George Washington, AS. Usai menimba ilmu di sana, ia memilih menjadi peneliti dan staf pengajar di Universitas Qatar. Kiprahnya di Qtel dimulai pada 1992. Debut di perusahaan ini, bermula sebagai penasihat ahli yang diperbantukan dari Universitas Qatar. Boleh jadi merasa cocok, akhirnya sejak 1994 ia memutuskan untuk bergabung sepenuhnya di Qtel. Tugas pertamanya kala itu sebagai strategic planning and development manager.

Latar belakangnya sebagai peneliti, tampaknya, amat berguna bagi perjalanan karirnya. Di divisi pengembangan, nyatanya Nasser dinilai berhasil mengembangkan teknologi komunikasi yang paling baru pada masanya.

Pada 1994 misalnya, ia sukses memperkenalkan teknologi GSM di kawasan Timur Tengah. Dua tahun berselang, ia juga berhasil memelopori penggunaan internet di Qatar dan negara-negara di sekitarnya. Sejak saat itu karirnya pun terus menanjak. Puncaknya terjadi pada 2002, ketika ia dipercaya menjabat sebagai CEO.

Peluang lain yang diincarnya adalah pasar di sejumlah negara di Kawasan Teluk, seperti Irak, Tunisia, Oman, dan Aljazair. Nasser tak salah dalam menentukan target. Pasalnya, perkembangan bisnis telekomunikasi di berbagai negara itu memang menggiurkan, setiap tahunnya tumbuh rata-rata di atas 20 persen.

Untuk merealisasikan ambisinya, Nasser mengandalkan tiga pilar bisnis utama yang selama ini dijalankan Qtel, yakni menyediakan jasa telekomunikasi mobile, jaringan internet, dan jasa mendesain sistem komunikasi untuk perusahaan. Selain itu, ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan bila ada tawaran bekerja sama dengan sejumlah BUMN telekomunikasi dari berbagai negara.

(Eko Edhi Caroko/Trust/rhs)

Read Full Post »